Kamis, 05 November 2015

Sebuah Essay : Menembus Batas di Perbatasan (Pulau Marampit, Kec. Nanusa, Kab. Kep. Talaud, Sulawesi Utara)

A.    Pendahuluan
“Membangun Indonesia dari pinggiran” merupakan suatu kalimat yang tidak asing di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, kalimat itu jelas tercantum dan juga terucap dari bibir Presiden Indonesia terpilih saat ini yaitu Joko Widodo dalam membacakan visi misinya ketika kampanye beberapa bulan yang lalu. Sistem pemerintahan Indonesia yang menghendaki Presiden sebagai “chief executive” yaitu sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan menjadikan visi misi presiden sebagai acuan atau pedoman utama arah pembangunan Indonesia selama kepemimpinan Presiden tersebut. Pada kalimat pertama di paragraf ini jelas dikatakan bahwa salah satu prioritas pembangunan negara ini ialah daerah pinggiran yang dapat dipahami sebagai daerah daerah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain.
Prioritas pembangunan di daerah daerah terluar merupakan suatu hal yang sangat positif dan merupakan itikad baik dari negara dalam mengatasi ketimpangan pembangunan yang selama ini bahkan sampai saat ini masih terjadi di Indonesia. Prioritas pembangunan di daerah terluar tentu saja akan berdampak kepada penjagaan rasa nasionalisme penduduk Indonesia yang selama ini terkesan diabaikan. Dalam era desentralisasi saat ini, keberhasilan pembangunan yang ada di daerah daerah ditentukan oleh pemerintah daerah. Tentu saja hal ini dilakukan untuk mempercepat pembangunan yang ada di daerah karena pemerintah daerah dianggap lebih memahami bagaimana pembangunan di daerahnya harus dilakukan. Dengan desentralisasi juga diharapkan masyarakat lebih dapat terlibat dalam pembangunan dan merasakan pelayanan publik yang merupakan tanggung jawab sebuah negara. Pemerintah pusat dalam hal ini turut serta mendorong pembangunan di daerah yang dalam hal ini daerah daerah terluar melalui pemberian program-program khusus daerah perbatasan atau yang paling sering dilakukan ialah pemberian alokasi anggaran tersendiri untuk daerah-daerah yang adadi perbatasan yang sebagian besar mekanismenya tentu saja melalui pemerintah daerah setempat.
Dalam essay kali ini penulis akan mencoba menceritakan bagaimana pemerintah daerah melakukan tugasnya utamanya dalam melakukan pembangunan dan pelayanan publik terhadap masyarakatnya. Penulis akan menceritakan kehidupan masyarakat di Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau Marampit merupakan salah satu Pulau terluar di Indonesia. Pulau Marampit berbatasan langsung dengan negara Filiphina. Apa yang diceritakan oleh penulis merupakan pengalaman pribadi yang didapatkan melalui proses live in di Pulau tersebut selama dua bulan (60 hari) yang dilaksanakan dalam rangka mengikuti Program KKN-PPM UGM tahun 2015.

B.     Sambutan Hangat Masyarakat
Saat pertama menginjakkan kaki di Pulau Marampit hal yang pertama dirasakan adalah rasa haru yang sangat dalam. Bagaimana tidak, saya yang sebelumnya belum sedikitpun mengenal mereka disambut begitu hangat dari bibir pantai tempat perahu kami berlabuh hingga kami berada di rumah warga tempat kami menumpang tinggal selama 2 bulan. Hal yang mengharukan lainnya selama kami berada di Pulau Marampit ialah warga yang melayani kami dengan sangat baik layaknya kami seperti tamu istimewa. Memberikan kami hidangan setiap harinya dan merayakan hari raya mayoritas dari kami yaitu Idul Fitri yang berbeda dengan agama yang dipeluk seluruh warga Pulau Marampit yaitu Kristen Protestan merupakan suatu yang tak dapat dianggap biasa. Memberikan hidangan selama 60 hari untuk 28 orang secara Cuma-Cuma atau tanpa dipungut biaya merupakan hal yang apabila diukur dari segi finansial tentu saja hal ini sangat sulit dilakukan di tempat-tempat lain. Masih teringat betul ucapan Pak Jun yang merupakan salah satu Pegawai Pemerintah Desa Marampit Timur “Jujur saja kami pemerintah desa tidak memiliki uang, tetapi kami selalu melayani dengan hati para tamu yang hadir”. Suatu ucapan yang sangat menyentuh hati. Juga perayaan Idul Fitri yang dipersembahkan warga bagi kami, suatu bentuk toleransi yang luar biasa yang bahkan di beberapa daerah di Indonesia menjadi konflik horizontal.
Waktu demi waktu berjalan hingga pada akhirnya penulis memahami bahwa sambutan hangat tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, merupakan sebuah budaya dan tradisi wajib bagi masyarakat Pulau Marampit pada khususnya dan masyarakat Talaud pada umumnya untuk melayani tamu dengan baik. Kedua, sulitnya akses untuk mencapai Pulau Marampit membuat begitu langkanya tamu yang hadir di tempat tersebut dan membuat masyarakat menghargai dan menghormati tamu yang rela untuk berkunjung ke Pulau Marampit. Ketiga, harapan yang besar kepada tamu dalam hal ini kami mahasiswa KKN UGM untuk dapat menceritakan dan menyuarakan aspirasi serta kehidupan masyarakat di Pulau Marampit kepada pemerintah pusat yang jelas memerlukan kehadiran negara untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Khusus untuk poin ketiga hal tersebut tentu saja menarik karena mereka menganggap kami berasal dari Pulau Jawa memiliki akses yang lebih mudah terhadap pusat pemerintahan. Suatu hal yang menandangan ketimpangan pembangunan terjadi hingga saat ini. Selain itu, permintaan untuk menyerukan kesulitan yang dialami warga ke pemerintah pusat sekaligus memberikan pertanyaan – pertanyaan mendasar yaitu “Mengapa tidak mengadu ke pemerintah kabupaten yang tentu saja lebih mudah dan memang untuk hal itu pemerintah kabupaten hadir dengan azas desentralisasi?” atau pertanyaan lain “ataukah masyarakat sudah tidak mempercayai pemerintah kabupaten sebagai entitas negara yang harusnya memberikan pelayanan dan pembangunan di daerahnya?”

C.    Wajah Pemerintah Daerah di Pulau Marampit
Pada sub-bab ini penulis akan mencoba menceritakan bagaimana kesan dan wajah pemerintah daerah Kabupaten Kepualauan Talaud di Pulau Marampit. Pada sub bab ini penulis akan menceritakan apa yang perlu dibenahi dari penyelenggaraan pemerintahan terkhusus terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara yang dalam hal ini merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai pemegang otonomi pembangunan di daerahnya.
Wilayahnya yang termasuk ke dalam wilayah Kepulauan membuat satu satunya transportasi yang efektif untuk digunakan untuk menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lainnya ialah Kapal Laut. Khusus untuk Pulau Marampit Kapal Laut bisa dikatakan sebagai sumber kehidupan. Hasil perkebunan dapat dijual dan logistik pangan hanya bisa didapatkan ketika kapal besar / perintis datang. Hal ini tentu saja karena untuk menjual hasil perkebunan warga di Pulau Marampit harus menjual di ibu kota kabupaten kepulauan Talaud yaitu Melonguane ataupun di Ibu Kota Provinsi yaitu Manado. Untuk pergi ke Ibu Kota Kabupaten Melonguane, warga Pulau Marampit membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 8 jam menggunakan Kapal Laut (Perintis) sedangkan untuk ke Manado menggunakan Kapal Perintis sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 hari, hal itu disebabkan rute kapal yang harus memutari pulau pulau yang ada di Kabupaten Talaud dan Sangihe. Kapal perintis yang hanya datang di Pulau Marampit dua kali dalam satu bulan menyebabkan mobilitas ekonomi warga menjadi sedikit tersendat. Hal itu diperparah ketika iklim sedang tidak bersahabat seperti ombak yang besar yang menyebabkan kapal tidak bisa bersandar di pelabuhan. Akhirnya, masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk menyewa perahu guna mengantarkan dirinya ataupun barang-barangnya ke tengah laut dimana kapal berlabuh.
Permasalahan kapal yang tidak bisa bersandar di pelabuhan tentu saja juga merupakan masalah terkait fasilitas transportasi yaitu dermaga. Pengawasan pemerintah daerah dalam pembangunan dermaga perlu diperketat karena pada kenyataannya dermaga dibangun ditempat yang sangat rentan terkena ombak besar ketika musim angin kencang di Pulau Marampit. Menurut penuturan beberapa warga sebenarnya pembangunan dermaga kapal bisa dilakukan di tempat lain di Pulau Marampit yang resiko terkena ombaknya lebih kecil sepanjang tahun. Sehingga, kasus kapal yang tidak bisa bersandar di Pulau Marampit lebih dapat ditekan sehingga tentu saja dapat memudahkan mobilitas warga Pulau Marampit.
Kendala akses transportasi berakibat luas bagi masyarakat. Pada bidang pendidikan misalnya, ketika tenaga pengajar di sekolah-sekolah di Pulau Marampit diharuskan untuk datang ke Dinas Pendidikan dalam keperluan rapat ataupun keperluan dinas lainnya yang sebenarnya hanya memakan waktu 1-3 hari, namun harus meninggalkan Pulau Marampit selama 2 minggu yang artinya 2 minggu harus tidak mengajar di sekolah. Tentu saja itu akibat keterbatasan akses transportasi yang ada yaitu Kapal yang beroperasi hanya satu kali dalam 2 minggu. Begitupun dalam hal peningkatan kompetisi siswa sangat terhambat karena kendala transportasi. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Sekolah SMP Satu Atap (satu-satunya SMP di Pulau Marampit) Arinda P. Marinu yang mengungkapkan begitu sulitnya siswa mengikuti kegiatan perlombaan baik yang sifatnya seni, olahraga ataupun akademik tingkat kabupaten ataupun provinsi karena kendala transportasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya bantuan dari pemerintah daerah dalam bidang pendidikan, misalnya transportasi yang disediakan bagi siswa yang mengikuti perlombaan. Sekolah dalam hal ini harus merogoh kocek yang tidak sedikit ketika harus mengikuti perlombaan perlombaan yang ada yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit. Dalam hal ini warga menilai, pemerintah daerah seperti tidak memperdulikan siswa siswa di daerah terluar karena tidak memperhatikan kendala yang dihadapi oleh warga di Pulau Marampit.
Sebenarnya dimungkinkan masyarakat untuk menggunakan perahu dan tidak bergantung kepada kapal perintis dalam mobilitasnya, namun tentu saja hal itu sangat memberatkan karena perahu tersebut memerlukan BBM dan juga tenaga yang tidak sedikit dan lagi-lagi hal tersebut berimbas kepada pengeluaran biaya yang cukup besar. Untuk informasi BBM di Pulau Marampit dihargai Rp.15.000/liter harga yang timbul tentu saja karena biaya distribusi yang cukup mahal.
Keterbatasan akses transportasi juga berdampak kepada penyelenggaraan pemerintahan di tingkat kecamatan yang terkendala. Ibu kota kecamatan Nanusa terletak di Pulau Karatung, Pulau yang berada di seberang Pulau Marampit yang kurang lebih memakan waktu satu jam dari Pulau Marampit menggunakan Perahu Motor. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi warga Pulau Marampit yang ingin mengurus berbagai pelayanan administrasi yang hanya dapat dilakukan di Kantor Kecamatan. Sulitnya akses yang dihadapi warga di Pulau Marampit mengakses pelayanan publik dalam tataran kecamatan menyebabkan desakan dari warga Pulau Marampit untuk mengajukan diri sebagai Kecamatan Khusus Pulau Marampit seperti halnya Kecamatan Miangas dan Marore (dua pulau terluar) muncul. Hal ini tentu saja disebabkan oleh pemikiran masyarakat di Pulau Marampit yang menilai akan lebih mudahnya segala proses penyelenggaraan pemerintahan tingkat kecamatan apabila hal itu terwujud.
Desakan warga untuk mendorong diwujudkannya Kecamatan Khusus pun berkaca dari Pulau Miangas yang dinilai lebih diperhatikan oleh Pemerintah Pusat dalam hal pemberian bantuan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk baik itu pembangunan fasilitas publik ataupun bantuan dalam bentuk lain. Warga menilai telah terjadi banyak manipulasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Talaud dalam hal pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Talaud dinilai hanya berkutat di daerah sekitar ibu kota Kabupaten saja yaitu daerah Melonguane dan sekitarnya. Lebih parah lagi pembangunan tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip daerah terluar, hal yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada. Faktanya warga menilai Pemerintah Kabupaten Talaud tidak melakukan pembangunan di daerah – daerah terluar yaitu di Pulau Marampit. Hal tersebut yang menyebabkan elemen warga di Pulau Marampit terkesan distrust kepada Pemerintah Kabupaten dan mengharapkan Pemerintah Pusat untuk memberikan bantuan secara langsung tanpa melalui perantara Pemerintah Daerah.

D.    Kesimpulan
            Menilik berbagai fakta yang ada di lapangan secara langsung, tidak berlebihan nampaknya bila mempertanyakan kembali desentralisasi di utara Indonesia yang dalam hal ini daerah perbatasan RI-Filiphina. Desentralisasi yang diadakan dengan maksud dan tujuan mendekatkan negara kepada masyarakat dan memaksimalkan pembangunan daerah yang dikhawatirkan tidak maksimal apabila dikerjakan oleh pemerintah pusat justru disalahgunakan dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Hal yang ironis ketika justru masyarakat lebih memilih untuk pembangunan yang ada dikerjakan langsung oleh Pemerintah Pusat tanpa perantara Pemerintah Daerah, suatu logika yang bertentangan dengan prinsip desentralisasi di era demokrasi saat ini.

            Pada akhirnya segala permasalahan yang ada menjadi suatu tanggung jawab bersama bagi seluruh pihak. Bagi Pemerintah Pusat ada baiknya apabila meninjau segala pembangunan yang telah dilakukan di daerah-daerah perbatasan apakah benar pembangunan telah dilakukan sesuai rel seperti yang telah Pemerintah Daerah rencanakan ataukah pembangunan tersebut melenceng ditengah jalan. Pengawasan menjadi hal yang sangat dirindukan dalam hal ini. Sedangkan Pemerintah Daerah dapat terus membenahi diri terkhusus komitmen untuk membangun daerahnya secara menyeluruh bukan hanya di daerah-daerah tertentu yang dinilai lebih menguntungkan oleh beberapa pihak saja. Masyarakat dalam hal ini penting untuk terus mengawasi segala proses pembangunan yang ada. Jangan sampai warga justru tidak percaya dan tidak kooperatif dengan Pemerintah Kabupaten Talaud dan hal itu menyebabkan proses pembangunan yang ada tersendat.