A.
Pendahuluan
“Membangun Indonesia dari
pinggiran” merupakan suatu kalimat yang tidak asing di telinga
kita sebagai masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, kalimat itu jelas tercantum
dan juga terucap dari bibir Presiden Indonesia terpilih saat ini yaitu Joko
Widodo dalam membacakan visi misinya ketika kampanye beberapa bulan yang lalu.
Sistem pemerintahan Indonesia yang menghendaki Presiden sebagai “chief executive” yaitu sebagai Kepala
Negara sekaligus Kepala Pemerintahan menjadikan visi misi presiden sebagai
acuan atau pedoman utama arah pembangunan Indonesia selama kepemimpinan
Presiden tersebut. Pada kalimat pertama di paragraf ini jelas dikatakan bahwa
salah satu prioritas pembangunan negara ini ialah daerah pinggiran yang dapat
dipahami sebagai daerah daerah terluar Indonesia yang berbatasan langsung
dengan negara-negara lain.
Prioritas
pembangunan di daerah daerah terluar merupakan suatu hal yang sangat positif
dan merupakan itikad baik dari negara dalam mengatasi ketimpangan pembangunan
yang selama ini bahkan sampai saat ini masih terjadi di Indonesia. Prioritas pembangunan
di daerah terluar tentu saja akan berdampak kepada penjagaan rasa nasionalisme
penduduk Indonesia yang selama ini terkesan diabaikan. Dalam era desentralisasi
saat ini, keberhasilan pembangunan yang ada di daerah daerah ditentukan oleh
pemerintah daerah. Tentu saja hal ini dilakukan untuk mempercepat pembangunan
yang ada di daerah karena pemerintah daerah dianggap lebih memahami bagaimana
pembangunan di daerahnya harus dilakukan. Dengan desentralisasi juga diharapkan
masyarakat lebih dapat terlibat dalam pembangunan dan merasakan pelayanan
publik yang merupakan tanggung jawab sebuah negara. Pemerintah pusat dalam hal
ini turut serta mendorong pembangunan di daerah yang dalam hal ini daerah
daerah terluar melalui pemberian program-program khusus daerah perbatasan atau
yang paling sering dilakukan ialah pemberian alokasi anggaran tersendiri untuk
daerah-daerah yang adadi perbatasan yang sebagian besar mekanismenya tentu saja
melalui pemerintah daerah setempat.
Dalam
essay kali ini penulis akan mencoba menceritakan bagaimana pemerintah daerah
melakukan tugasnya utamanya dalam melakukan pembangunan dan pelayanan publik
terhadap masyarakatnya. Penulis akan menceritakan kehidupan masyarakat di Pulau
Marampit, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau
Marampit merupakan salah satu Pulau terluar di Indonesia. Pulau Marampit
berbatasan langsung dengan negara Filiphina. Apa yang diceritakan oleh penulis
merupakan pengalaman pribadi yang didapatkan melalui proses live in di Pulau tersebut selama dua
bulan (60 hari) yang dilaksanakan dalam rangka mengikuti Program KKN-PPM UGM
tahun 2015.
B. Sambutan Hangat Masyarakat
Saat
pertama menginjakkan kaki di Pulau Marampit hal yang pertama dirasakan adalah
rasa haru yang sangat dalam. Bagaimana tidak, saya yang sebelumnya belum
sedikitpun mengenal mereka disambut begitu hangat dari bibir pantai tempat
perahu kami berlabuh hingga kami berada di rumah warga tempat kami menumpang
tinggal selama 2 bulan. Hal yang mengharukan lainnya selama kami berada di
Pulau Marampit ialah warga yang melayani kami dengan sangat baik layaknya kami
seperti tamu istimewa. Memberikan kami hidangan setiap harinya dan merayakan
hari raya mayoritas dari kami yaitu Idul Fitri yang berbeda dengan agama yang
dipeluk seluruh warga Pulau Marampit yaitu Kristen Protestan merupakan suatu
yang tak dapat dianggap biasa. Memberikan hidangan selama 60 hari untuk 28
orang secara Cuma-Cuma atau tanpa dipungut biaya merupakan hal yang apabila
diukur dari segi finansial tentu saja hal ini sangat sulit dilakukan di
tempat-tempat lain. Masih teringat betul ucapan Pak Jun yang merupakan salah
satu Pegawai Pemerintah Desa Marampit Timur “Jujur
saja kami pemerintah desa tidak memiliki uang, tetapi kami selalu melayani
dengan hati para tamu yang hadir”. Suatu ucapan yang sangat menyentuh hati.
Juga perayaan Idul Fitri yang dipersembahkan warga bagi kami, suatu bentuk
toleransi yang luar biasa yang bahkan di beberapa daerah di Indonesia menjadi
konflik horizontal.
Waktu
demi waktu berjalan hingga pada akhirnya penulis memahami bahwa sambutan hangat
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, merupakan sebuah budaya dan tradisi wajib bagi masyarakat
Pulau Marampit pada khususnya dan masyarakat Talaud pada umumnya untuk melayani
tamu dengan baik. Kedua, sulitnya
akses untuk mencapai Pulau Marampit membuat begitu langkanya tamu yang hadir di
tempat tersebut dan membuat masyarakat menghargai dan menghormati tamu yang
rela untuk berkunjung ke Pulau Marampit. Ketiga,
harapan yang besar kepada tamu dalam hal ini kami mahasiswa KKN UGM untuk dapat
menceritakan dan menyuarakan aspirasi serta kehidupan masyarakat di Pulau
Marampit kepada pemerintah pusat yang jelas memerlukan kehadiran negara untuk menunjang
kelangsungan hidupnya. Khusus untuk poin ketiga hal tersebut tentu saja menarik
karena mereka menganggap kami berasal dari Pulau Jawa memiliki akses yang lebih
mudah terhadap pusat pemerintahan. Suatu hal yang menandangan ketimpangan
pembangunan terjadi hingga saat ini. Selain itu, permintaan untuk menyerukan
kesulitan yang dialami warga ke pemerintah pusat sekaligus memberikan
pertanyaan – pertanyaan mendasar yaitu “Mengapa
tidak mengadu ke pemerintah kabupaten yang tentu saja lebih mudah dan memang
untuk hal itu pemerintah kabupaten hadir dengan azas desentralisasi?” atau
pertanyaan lain “ataukah masyarakat sudah
tidak mempercayai pemerintah kabupaten sebagai entitas negara yang harusnya
memberikan pelayanan dan pembangunan di daerahnya?”
C.
Wajah
Pemerintah Daerah di Pulau Marampit
Pada
sub-bab ini penulis akan mencoba menceritakan bagaimana kesan dan wajah
pemerintah daerah Kabupaten Kepualauan Talaud di Pulau Marampit. Pada sub bab
ini penulis akan menceritakan apa yang perlu dibenahi dari penyelenggaraan
pemerintahan terkhusus terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
negara yang dalam hal ini merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai
pemegang otonomi pembangunan di daerahnya.
Wilayahnya
yang termasuk ke dalam wilayah Kepulauan membuat satu satunya transportasi yang
efektif untuk digunakan untuk menghubungkan satu pulau dengan pulau yang
lainnya ialah Kapal Laut. Khusus untuk Pulau Marampit Kapal Laut bisa dikatakan
sebagai sumber kehidupan. Hasil perkebunan dapat dijual dan logistik pangan
hanya bisa didapatkan ketika kapal besar / perintis datang. Hal ini tentu saja
karena untuk menjual hasil perkebunan warga di Pulau Marampit harus menjual di
ibu kota kabupaten kepulauan Talaud yaitu Melonguane ataupun di Ibu Kota
Provinsi yaitu Manado. Untuk pergi ke Ibu Kota Kabupaten Melonguane, warga
Pulau Marampit membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 8 jam menggunakan Kapal
Laut (Perintis) sedangkan untuk ke Manado menggunakan Kapal Perintis
sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 hari, hal itu disebabkan rute kapal yang
harus memutari pulau pulau yang ada di Kabupaten Talaud dan Sangihe. Kapal
perintis yang hanya datang di Pulau Marampit dua kali dalam satu bulan
menyebabkan mobilitas ekonomi warga menjadi sedikit tersendat. Hal itu
diperparah ketika iklim sedang tidak bersahabat seperti ombak yang besar yang
menyebabkan kapal tidak bisa bersandar di pelabuhan. Akhirnya, masyarakat harus
mengeluarkan biaya untuk menyewa perahu guna mengantarkan dirinya ataupun
barang-barangnya ke tengah laut dimana kapal berlabuh.
Permasalahan
kapal yang tidak bisa bersandar di pelabuhan tentu saja juga merupakan masalah
terkait fasilitas transportasi yaitu dermaga. Pengawasan pemerintah daerah
dalam pembangunan dermaga perlu diperketat karena pada kenyataannya dermaga
dibangun ditempat yang sangat rentan terkena ombak besar ketika musim angin
kencang di Pulau Marampit. Menurut penuturan beberapa warga sebenarnya
pembangunan dermaga kapal bisa dilakukan di tempat lain di Pulau Marampit yang
resiko terkena ombaknya lebih kecil sepanjang tahun. Sehingga, kasus kapal yang
tidak bisa bersandar di Pulau Marampit lebih dapat ditekan sehingga tentu saja
dapat memudahkan mobilitas warga Pulau Marampit.
Kendala
akses transportasi berakibat luas bagi masyarakat. Pada bidang pendidikan
misalnya, ketika tenaga pengajar di sekolah-sekolah di Pulau Marampit
diharuskan untuk datang ke Dinas Pendidikan dalam keperluan rapat ataupun
keperluan dinas lainnya yang sebenarnya hanya memakan waktu 1-3 hari, namun
harus meninggalkan Pulau Marampit selama 2 minggu yang artinya 2 minggu harus
tidak mengajar di sekolah. Tentu saja itu akibat keterbatasan akses
transportasi yang ada yaitu Kapal yang beroperasi hanya satu kali dalam 2
minggu. Begitupun dalam hal peningkatan kompetisi siswa sangat terhambat karena
kendala transportasi. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Sekolah SMP Satu
Atap (satu-satunya SMP di Pulau Marampit) Arinda P. Marinu yang mengungkapkan
begitu sulitnya siswa mengikuti kegiatan perlombaan baik yang sifatnya seni,
olahraga ataupun akademik tingkat kabupaten ataupun provinsi karena kendala
transportasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya bantuan dari pemerintah
daerah dalam bidang pendidikan, misalnya transportasi yang disediakan bagi
siswa yang mengikuti perlombaan. Sekolah dalam hal ini harus merogoh kocek yang
tidak sedikit ketika harus mengikuti perlombaan perlombaan yang ada yang tentu
saja jumlahnya tidak sedikit. Dalam hal ini warga menilai, pemerintah daerah
seperti tidak memperdulikan siswa siswa di daerah terluar karena tidak
memperhatikan kendala yang dihadapi oleh warga di Pulau Marampit.
Sebenarnya
dimungkinkan masyarakat untuk menggunakan perahu dan tidak bergantung kepada
kapal perintis dalam mobilitasnya, namun tentu saja hal itu sangat memberatkan
karena perahu tersebut memerlukan BBM dan juga tenaga yang tidak sedikit dan
lagi-lagi hal tersebut berimbas kepada pengeluaran biaya yang cukup besar.
Untuk informasi BBM di Pulau Marampit dihargai Rp.15.000/liter harga yang
timbul tentu saja karena biaya distribusi yang cukup mahal.
Keterbatasan
akses transportasi juga berdampak kepada penyelenggaraan pemerintahan di
tingkat kecamatan yang terkendala. Ibu kota kecamatan Nanusa terletak di Pulau
Karatung, Pulau yang berada di seberang Pulau Marampit yang kurang lebih
memakan waktu satu jam dari Pulau Marampit menggunakan Perahu Motor. Hal ini
menimbulkan kesulitan bagi warga Pulau Marampit yang ingin mengurus berbagai
pelayanan administrasi yang hanya dapat dilakukan di Kantor Kecamatan. Sulitnya
akses yang dihadapi warga di Pulau Marampit mengakses pelayanan publik dalam
tataran kecamatan menyebabkan desakan dari warga Pulau Marampit untuk
mengajukan diri sebagai Kecamatan Khusus Pulau Marampit seperti halnya
Kecamatan Miangas dan Marore (dua pulau terluar) muncul. Hal ini tentu saja
disebabkan oleh pemikiran masyarakat di Pulau Marampit yang menilai akan lebih
mudahnya segala proses penyelenggaraan pemerintahan tingkat kecamatan apabila hal
itu terwujud.
Desakan
warga untuk mendorong diwujudkannya Kecamatan
Khusus pun berkaca dari Pulau Miangas yang dinilai lebih diperhatikan oleh
Pemerintah Pusat dalam hal pemberian bantuan yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk baik itu pembangunan fasilitas publik ataupun bantuan dalam bentuk lain.
Warga menilai telah terjadi banyak manipulasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Talaud dalam hal pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten Talaud dinilai hanya berkutat di daerah sekitar
ibu kota Kabupaten saja yaitu daerah Melonguane dan sekitarnya. Lebih parah
lagi pembangunan tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip daerah
terluar, hal yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada.
Faktanya warga menilai Pemerintah Kabupaten Talaud tidak melakukan pembangunan
di daerah – daerah terluar yaitu di Pulau Marampit. Hal tersebut yang
menyebabkan elemen warga di Pulau Marampit terkesan distrust kepada Pemerintah Kabupaten dan mengharapkan Pemerintah
Pusat untuk memberikan bantuan secara langsung tanpa melalui perantara
Pemerintah Daerah.
D. Kesimpulan
Menilik berbagai fakta yang ada di
lapangan secara langsung, tidak berlebihan nampaknya bila mempertanyakan
kembali desentralisasi di utara Indonesia yang dalam hal ini daerah perbatasan
RI-Filiphina. Desentralisasi yang diadakan dengan maksud dan tujuan mendekatkan
negara kepada masyarakat dan memaksimalkan pembangunan daerah yang
dikhawatirkan tidak maksimal apabila dikerjakan oleh pemerintah pusat justru
disalahgunakan dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Hal yang ironis ketika
justru masyarakat lebih memilih untuk pembangunan yang ada dikerjakan langsung
oleh Pemerintah Pusat tanpa perantara Pemerintah Daerah, suatu logika yang
bertentangan dengan prinsip desentralisasi di era demokrasi saat ini.
Pada akhirnya segala permasalahan
yang ada menjadi suatu tanggung jawab bersama bagi seluruh pihak. Bagi
Pemerintah Pusat ada baiknya apabila meninjau segala pembangunan yang telah
dilakukan di daerah-daerah perbatasan apakah benar pembangunan telah dilakukan
sesuai rel seperti yang telah Pemerintah Daerah rencanakan ataukah pembangunan
tersebut melenceng ditengah jalan. Pengawasan menjadi hal yang sangat
dirindukan dalam hal ini. Sedangkan Pemerintah Daerah dapat terus membenahi
diri terkhusus komitmen untuk membangun daerahnya secara menyeluruh bukan hanya
di daerah-daerah tertentu yang dinilai lebih menguntungkan oleh beberapa pihak
saja. Masyarakat dalam hal ini penting untuk terus mengawasi segala proses
pembangunan yang ada. Jangan sampai warga justru tidak percaya dan tidak
kooperatif dengan Pemerintah Kabupaten Talaud dan hal itu menyebabkan proses
pembangunan yang ada tersendat.